Apa Itu Tren "S‑Line"?
Tren ini mengajak pengguna membuat video bergaya pengakuan dosa, membongkar “keburukan” atau aib pribadi. Mereka tidak hanya bercerita, tetapi juga menggunakan efek visual dan tagar untuk memperkuat pesan.
Narasi semacam ini memicu rasa penasaran, namun sering kali menabrak batas etika. Beberapa pengakuan bahkan dianggap vulgar atau menjurus pada glorifikasi kesalahan. Banyak yang tak sadar bahwa ini membuka pintu perusakan citra diri secara permanen.
Aib dalam Perspektif Hukum Islam
Konsep Menutup Aib (Satrul Aib)
Islam sangat menekankan prinsip menutup aib—baik aib sendiri maupun orang lain. Dalam hadis shahih, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Allah akan menutup aib seorang hamba yang menutup aib saudaranya.
Menampakkan dosa justru menunjukkan kurangnya rasa malu, yang dalam Islam merupakan sebagian dari iman. Rasulullah SAW pernah menolak pengakuan dosa terang-terangan jika pelakunya tidak sedang diadili. Ini menunjukkan Islam mengutamakan perlindungan martabat individu.
Hukum Pelanggaran Privasi
Mengumbar aib, meski dilakukan sendiri, bisa jatuh ke dalam kategori dosa tersendiri. Dalam banyak kasus, ini termasuk bentuk ghibah terhadap diri sendiri atau menyebarkan keburukan yang seharusnya ditutup.
Allah melarang mengumbar keburukan, kecuali dalam kondisi tertindas atau mencari keadilan. Tanpa adanya maslahat syar’i, mengungkap dosa kepada publik dianggap sebagai bentuk penyimpangan. Tren ini pun bisa membuka pintu bagi orang lain untuk mengikuti perbuatan buruk.
Kenapa Tren "S‑Line" Bermasalah?
Merayakan Dosa
Tren ini sering kali dilakukan dengan nada bercanda, penuh efek lucu, atau bahkan dibumbui dengan kebanggaan. Dalam Islam, pengakuan dosa harus disertai rasa malu dan penyesalan mendalam. Menertawakan aib diri sama saja dengan mengabaikan pentingnya taubat.
Bahkan bisa menjadi bentuk istihza’ (meremehkan syariat). Hal ini bertolak belakang dengan semangat muhasabah dan pembenahan diri yang diperintahkan dalam Al-Qur'an.
Viral, Bukan Taubat
Tren ini dibuat untuk menghibur dan menarik perhatian, bukan untuk bertaubat atau mengambil pelajaran. Berbeda dengan pengakuan yang disampaikan dalam forum konsultasi agama atau bimbingan rohani. Tujuan utama dari konten ini adalah mendapatkan views, komentar, dan popularitas.
Maka orientasinya menjadi duniawi dan sangat rawan menimbulkan riya’. Islam sangat memperhatikan niat dalam setiap amal, termasuk saat bicara di ruang publik.
Dampak Sosial
Jika terus dibiarkan, tren ini akan mengubah persepsi publik tentang dosa. Dosa tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus ditutup dan ditinggalkan, melainkan sebagai bahan cerita menarik.
Ini sangat berbahaya bagi generasi muda yang belum memiliki filter keagamaan kuat. Alih-alih meniru kebaikan, mereka justru terdorong meniru “kejujuran” yang salah tempat. Normalisasi perilaku salah ini mengancam moral sosial umat.
Bagaimana Sikap Ideal dalam Islam?
1. Menutup Aib
Muslim yang baik diperintahkan untuk menutup aibnya sendiri dan bertaubat secara pribadi. Taubat yang sejati dilakukan dalam sepi, dengan harapan ampunan dari Allah, bukan sorotan manusia.
Rasulullah menyebutkan bahwa orang yang memamerkan dosa di pagi hari, padahal Allah telah menutupinya, termasuk golongan yang merugi. Oleh karena itu, menahan diri dari mengumbar keburukan adalah bentuk kehormatan diri.
2. Pendidikan Media Islam
Perlu adanya pendidikan media dengan pendekatan syariah di kalangan pengguna digital Muslim. Hal ini untuk mengajarkan batasan mana yang boleh dibagikan ke publik dan mana yang tidak.
Literasi digital berbasis etika Islam sangat penting di era ini. Dengan begitu, umat bisa tetap aktif bermedia sosial tanpa melanggar nilai-nilai agama. Ini juga membentuk kontrol diri terhadap godaan viralitas.
3. Memperkuat Etika
Etika menjadi landasan utama dalam menggunakan platform digital, terutama yang terbuka seperti TikTok. Jika setiap Muslim memiliki kesadaran untuk menjaga harga diri dan kehormatan keluarga, maka tren negatif semacam ini akan meredup.
Edukasi mengenai adab berbicara, bertutur, dan menampilkan diri harus menjadi bagian dari kurikulum keislaman. Perlu juga dukungan dari ulama dan tokoh untuk menyuarakan prinsip ini.

