Pencabutan Kenaikan PBB P2 250% di Kabupaten Pati: Nasib Pembayar dan Implikasi Kebijakan

 

Pencabutan Kenaikan PBB P2 250% di Kabupaten Pati

Latar Belakang dan Kebijakan Awal

Kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB–P2) sebesar 250% diumumkan Pemkab Pati pada Mei 2025. Alasan utama dari kebijakan ini adalah stagnasi tarif selama 14 tahun, yang dianggap menghambat potensi penerimaan daerah. 

Pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan guna membiayai pembangunan infrastruktur seperti jalan, fasilitas kesehatan, serta program ketahanan pangan dan perikanan.

Namun, sejumlah tokoh masyarakat menilai klaim stagnasi tarif selama 14 tahun tidak akurat. Berdasarkan catatan mereka, pada tahun 2022 sempat dilakukan penyesuaian tarif sekitar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi data dari pemerintah belum sepenuhnya transparan dan akuntabel.

Kebijakan yang berskala besar seperti ini semestinya didasarkan pada audit historis tarif PBB serta pertimbangan keadilan ekonomi. Tanpa landasan yang kuat, kebijakan dapat dianggap sebagai bentuk tekanan fiskal yang berlebihan kepada masyarakat.

Gejolak Publik dan Reaksi Warga

Penolakan dan Jalan Protes

Kenaikan pajak yang signifikan memicu penolakan luas dari masyarakat. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menyatakan akan melakukan demonstrasi pada 13 Agustus 2025. Warga menilai kebijakan itu dipaksakan tanpa sosialisasi yang memadai, bahkan tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi pasca-pandemi yang masih rentan.

Protes warga berkembang secara organik, baik melalui aksi langsung maupun media sosial. Kritik muncul terhadap proses pengambilan keputusan yang dinilai terlalu top-down. Pemerintah daerah juga dianggap kurang melibatkan DPRD dan perwakilan masyarakat dalam pembahasan awal.

Rasa ketidakadilan muncul bukan hanya karena nominal kenaikan, tapi juga karena kurangnya ruang partisipasi publik. Kebijakan fiskal seharusnya tidak hanya efektif, tetapi juga demokratis.

Penolakan Meluas, Kebijakan Dibatalkan

Merespons tekanan publik yang semakin besar, Bupati Pati, Sudewo, secara resmi membatalkan kebijakan tersebut pada 8 Agustus 2025. Ia menyampaikan bahwa pemerintah mendengar aspirasi masyarakat dan memutuskan tarif PBB–P2 kembali mengacu pada nominal tahun 2024.

Pembatalan ini diumumkan melalui pernyataan resmi, tetapi tidak disampaikan langsung kepada masyarakat dalam forum terbuka. Hal ini memunculkan ketidakpuasan lanjutan, karena sebagian warga menilai keputusan tersebut belum cukup transparan.

Walaupun kebijakan dibatalkan, rencana demonstrasi tetap akan dilaksanakan. Warga ingin memastikan bahwa pembatalan bersifat resmi, sah, dan tidak sebatas wacana politik.

Nasib Pembayar Pajak: Reaksi dan Dampaknya

Bagaimana dengan Warga yang Sudah Membayar?

Isu besar pasca-pembatalan adalah nasib warga yang sudah membayar dengan tarif 250%. Sejumlah warga mengaku telah melunasi tagihan yang naik drastis sebelum pengumuman pembatalan.

Dalam konteks ini, restitusi atau pengembalian selisih pembayaran menjadi isu penting. Pemerintah menyatakan akan mengembalikan kelebihan pembayaran, namun belum tersedia mekanisme teknis yang jelas. Hal ini menyisakan ketidakpastian di tengah masyarakat.

Kebijakan fiskal yang berubah secara mendadak tanpa kesiapan administratif menimbulkan potensi distrust. Warga menuntut transparansi jadwal pengembalian dana dan prosedurnya.

Erosi Kepercayaan dan Konsistensi Pemerintah

Pembatalan kebijakan pajak dalam waktu singkat menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi pemerintah daerah. Warga menilai pengambilan kebijakan sangat reaktif terhadap tekanan publik, bukan berdasarkan kajian matang.

Koordinator lapangan aksi menyatakan bahwa pembatalan tidak cukup jika hanya diumumkan secara sepihak. Mereka mendesak adanya forum terbuka dengan kehadiran langsung Bupati agar keputusan dianggap sah.

Erosi kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal menjadi tantangan jangka panjang. Untuk mengembalikan kredibilitas, pemerintah perlu menyusun langkah pemulihan yang konkret.

Rekomendasi Ahli dalam Kebijakan Pajak Daerah

Transparansi dan Komunikasi Publik

Setiap kebijakan kenaikan pajak harus disosialisasikan dengan data historis dan perhitungan rasional. Komunikasi publik tidak cukup melalui media formal saja, melainkan harus menyentuh masyarakat akar rumput.

Kejelasan narasi sangat penting, terutama untuk menghindari spekulasi dan resistensi sosial. Data kenaikan sebelumnya (misalnya tahun 2022) seharusnya menjadi bagian dari argumen kebijakan yang dibangun sejak awal.

Mekanisme Pengembalian yang Adil

Pengembalian selisih pembayaran perlu disertai pedoman teknis: alur pengajuan, waktu pelaksanaan, dan siapa yang berwenang. Tanpa petunjuk yang jelas, hak-hak warga yang membayar lebih bisa terabaikan.

Pemerintah bisa menggunakan model refund berbasis data dari Dinas Pendapatan Daerah. Sistem ini harus dikomunikasikan secara masif untuk menjangkau seluruh wajib pajak.

Evaluasi Bertahap dan Keterlibatan Publik

Alih-alih menerapkan lonjakan drastis, evaluasi tarif PBB–P2 sebaiknya dilakukan bertahap, misalnya 10–20% per tahun. Pendekatan bertahap memungkinkan masyarakat menyesuaikan kondisi ekonomi secara progresif.

Kebijakan pajak juga perlu partisipatif, melibatkan DPRD, akademisi, asosiasi profesi, dan perwakilan desa. Partisipasi memperkuat legitimasi kebijakan dan mengurangi resistensi publik.

Lebih baru Lebih lama

ads

Berita Amanah dan Terpeercaya

ads

Berita Amanah dan Terpeercaya
Berita Amanah dan Terpeercaya

نموذج الاتصال