Perjalanan Menuju Puncak di Usia Lanjut
Pendakian Gunung Fuji kembali mencatat sejarah pada Agustus 2025. Seorang pendaki asal Jepang bernama Kokichi Akuzawa berhasil mencapai puncak pada usia 102 tahun. Prestasi luar biasa ini menobatkannya sebagai orang tertua di dunia yang sanggup menaklukkan ketinggian 3.776 meter di atas permukaan laut.
Akuzawa tidak mendaki seorang diri. Ia ditemani putrinya yang berusia 70 tahun, cucu, menantu, serta empat anggota klub pendakian lokal. Selama dua malam, mereka berkemah di jalur pendakian sebelum menuntaskan misi hingga ke puncak. Pada tanggal 5 Agustus, rombongan berhasil mengibarkan semangat di titik tertinggi Jepang.
Meskipun penuh persiapan, perjalanan tersebut tidak mudah. Akuzawa sempat merasakan kelemahan fisik yang membuatnya hampir menyerah. Namun dorongan dari keluarga dan rekan pendaki menjadi kekuatan tambahan yang mengantarkannya menyelesaikan perjalanan bersejarah ini.
Latihan Disiplin Sebelum Pendakian
Persiapan Akuzawa tidak dilakukan secara instan. Selama tiga bulan sebelum pendakian, ia menjalani latihan ketat. Setiap pagi, ia bangun pukul lima dan berjalan kaki selama satu jam. Rutinitas ini dilanjutkan dengan mendaki gunung di Prefektur Nagano setiap pekan. Latihan konsisten ini menjadi modal utama menghadapi tantangan Gunung Fuji.
Selain fisik, mental juga mendapat perhatian. Akuzawa terbiasa mengandalkan tekad kuat dalam setiap pendakian. Ia menyadari bahwa usia menambah beban, sehingga ia mengandalkan kebersamaan dengan orang terdekat sebagai faktor penentu. Kedisiplinan ini menunjukkan bahwa persiapan sistematis tetap relevan meski di usia lanjut.
Pendekatan terstruktur membuktikan dirinya mampu menyeimbangkan kondisi tubuh yang menua dengan tuntutan medan pendakian. Latihan rutin yang dijalankan bukan sekadar olahraga, melainkan bagian dari strategi menjaga stamina, keseimbangan, dan kepercayaan diri menghadapi perjalanan panjang.
Tantangan dan Keterbatasan Fisik
Dalam perjalanannya, Akuzawa menghadapi kondisi fisik yang tidak lagi prima. Pendengarannya menurun, sehingga komunikasi dengan rombongan dibantu oleh cucunya. Selain itu, kecepatan langkah dan stamina tidak lagi sekuat saat muda. Ia sendiri mengakui bahwa tubuhnya sering terasa lambat dan mudah lelah.
Meski begitu, ia tetap bertekad menapaki jalur hingga puncak. Menurutnya, pendakian bukan sekadar olahraga, melainkan simbol semangat untuk terus berusaha selagi mampu. Kalimat sederhana, “lebih baik mendaki selagi masih bisa,” menjadi pesan mendalam tentang arti kesempatan dan keberanian.
Tantangan kesehatan bukan hal baru baginya. Dalam enam tahun terakhir, ia pernah menghadapi masalah jantung, serangan herpes zoster, bahkan cedera akibat terjatuh. Namun pengalaman menghadapi kondisi tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk terus mendaki.
Rekor Dunia dan Pengakuan Resmi
Keberhasilan Akuzawa mendaki Gunung Fuji pada usia 102 tahun diakui secara resmi oleh Guinness World Records. Catatan ini memperpanjang daftar prestasinya setelah sebelumnya mencetak rekor saat berusia 96 tahun. Raihan ini menjadikan dirinya simbol ketangguhan generasi lanjut usia Jepang.
Rekor tersebut bukan hanya tentang fisik yang kuat, tetapi juga tentang makna kebersamaan. Akuzawa tidak lagi mendaki sendirian seperti masa mudanya. Ia kini mengandalkan dukungan keluarga dan sahabat yang setia mendampingi. Faktor kebersamaan inilah yang membuat prestasi ini semakin istimewa.
Pencapaian ini juga memperlihatkan bagaimana komitmen, persiapan matang, dan dukungan sosial mampu menghasilkan hasil luar biasa. Bagi dunia pendakian, kisah Akuzawa menambah daftar inspirasi bahwa usia bukanlah batas untuk menaklukkan tantangan besar.
Inspirasi Bagi Generasi Muda
Kisah Akuzawa memberikan pesan kuat kepada generasi muda. Pendakian bukan semata soal kecepatan, tetapi tentang ketekunan, persiapan, dan semangat juang. Rekor yang ia pecahkan menjadi bukti bahwa manusia tetap dapat mencapai tujuan besar meski di usia lanjut.
Banyak orang menganggap usia tua identik dengan keterbatasan. Namun Akuzawa menunjukkan perspektif berbeda. Dengan latihan, kedisiplinan, dan dukungan moral, seseorang tetap bisa meraih prestasi di luar dugaan. Pesan ini menumbuhkan harapan bagi siapa pun yang menghadapi keterbatasan.
Selain itu, kisahnya juga mempertegas pentingnya solidaritas. Tanpa dukungan keluarga dan rekan pendaki, mungkin ia tidak akan mencapai puncak. Semangat kolektif ini memberikan pelajaran bahwa pencapaian besar sering lahir dari kerja sama, bukan sekadar usaha individu.
Makna di Balik Puncak
Bagi Akuzawa, puncak Fuji bukan sekadar tujuan geografis. Ia melihatnya sebagai simbol pencapaian hidup, perjuangan melawan batas, serta bentuk rasa syukur. Setiap langkah menuju puncak adalah cermin keberanian menerima tantangan usia.
Perjalanannya membuktikan bahwa manusia tidak hanya dibatasi oleh kondisi fisik, tetapi juga ditentukan oleh kekuatan mental dan dukungan emosional. Puncak Fuji menjadi saksi bagaimana tekad dapat mengalahkan rasa lelah dan keraguan.
Kisah ini menutup babak penting dalam perjalanan hidupnya. Meski mengaku merasa lebih lemah dari sebelumnya, Akuzawa berhasil menunjukkan bahwa semangat pantang menyerah tetap relevan hingga usia 102 tahun.

