Latar Belakang dan Konteks Kenaikan PBB di Pati
Kabupaten Pati, Jawa Tengah, belakangan menjadi sorotan nasional karena wacana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB‑P2) hingga 250 persen. Langkah ini merupakan upaya pemerintah daerah mempertahankan keberlanjutan pembangunan infrastruktur dan layanan publik, di tengah kondisi keuangan lokal yang terbatas dan stagnan selama lebih dari satu dekade.
Kondisi Pendapatan Daerah dan Alasan Fiskal
Secara teknis, Pati menghadapi hambatan finansial serius pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah, ditambah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang belum disesuaikan selama bertahun-tahun. Penyesuaian NJOP dan PBB dianggap perlu untuk mendekati nilai pasar aktual.
Sehingga meningkatkan basis pajak dan menghasilkan tambahan PAD signifikan. Upaya ini dirancang untuk mendanai program pembangunan yang selama ini terbatas oleh anggaran.
Reaksi Publik dan Kritis dari Akademisi
Namun, reaksi dari masyarakat sangat keras. Protes meluas karena kebijakan dianggap membebani warga secara drastis. Bahkan sejumlah kalangan akademisi seperti ahli dari UNNES menyoroti dua kesalahan utama: ketidakmampuan berkomunikasi efektif dan kurangnya analisis dampak sosial sebelum kebijakan diumumkan.
Tekanan politik dan aspirasi publik yang kuat akhirnya memicu arahan dari Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengevaluasi ulang kenaikan tersebut.
Pembatalan Kenaikan dan Alasan Strategis
Pada 8 Agustus 2025, Bupati Pati, Sudewo, mengambil keputusan strategis: membatalkan kenaikan PBB 250 persen dan mempertahankan tarif seperti tahun sebelumnya.
Alasan Keputusan
Pencabutan kebijakan ini bukan sekadar mundur karena tekanan, melainkan didasarkan pada prinsip menjaga kondusivitas sosial dan memperlancar pembangunan. Bupati menyampaikan bahwa keputusan itu diambil “mencermati perkembangan situasi dan kondisi serta mengakomodasi aspirasi publik”.
Menurut perspektif pakar, ini merupakan pendekatan adaptif dalam pengelolaan kebijakan publik mengutamakan kestabilan dan dukungan masyarakat sebelum materi kebijakan sendiri dapat dijalankan lebih lanjut.
Kritik Akademis dan Langkah Evaluasi
Ahli ekonomi publik menekankan pentingnya perumusan kebijakan fiskal yang transparan dan inklusif. Evaluasi tarif PBB idealnya melibatkan pendekatan bertahap, dialog publik, dan kajian dampak menyeluruh bukan keputusan sepihak yang mengejutkan warga.
Pengumpulan aspirasi masyarakat dan penguatan analisis dampak menjadi premis utama untuk revisi kebijakan semacam ini

