Situasi Terkini Penetrasi Internet di Indonesia
Menurut survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada pertengahan 2025, penetrasi internet nasional telah mencapai 80,66% atau setara dengan 229,4 juta penduduk. Meski angka ini menunjukkan peningkatan, masih terdapat sekitar 55 juta penduduk Indonesia yang belum terkoneksi internet.
Ini berarti hampir seperlima populasi belum menikmati manfaat transformasi digital. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerataan akses internet masih menjadi tantangan besar. Ketimpangan digital antardaerah semakin menonjol dan perlu segera diatasi.
Hambatan Utama Terhambatnya Akses Internet
Infrastruktur yang Tidak Merata
Penyebaran infrastruktur telekomunikasi masih sangat timpang antara wilayah barat dan timur Indonesia. Wilayah seperti Papua, Maluku, dan sebagian Kalimantan mengalami kendala jaringan karena lokasi geografis yang sulit dijangkau.
Ketiadaan tower BTS atau jaringan fiber optik di banyak desa menyebabkan konektivitas minim. Upaya pemerintah membangun Palapa Ring memang membantu, namun belum menyentuh seluruh wilayah. Keterbatasan akses ini menjadi penghalang utama digitalisasi nasional.
Regulasi dan Persaingan Tidak Seimbang
Selain infrastruktur, faktor regulasi juga disebut sebagai penghambat. APJII mencatat bahwa 26% responden menganggap persaingan yang terlalu tinggi di sektor telekomunikasi menjadi kendala. Sementara itu, 25,67% menyoroti lemahnya kebijakan pemerintah dalam mendukung perluasan layanan.
Terlalu banyaknya perizinan di tingkat daerah membuat operator kesulitan memperluas jaringan. Ketidakharmonisan regulasi pusat dan daerah memperparah situasi. Hal ini menghambat pemerataan layanan internet yang seharusnya menjadi prioritas nasional.
Biaya Infrastruktur yang Mahal
Pembangunan jaringan internet membutuhkan biaya yang sangat besar, terutama di daerah terpencil. Sekitar 21,67% penghambat disebut berasal dari mahalnya biaya infrastruktur. Banyak penyedia jasa tidak sanggup menjangkau wilayah sulit karena keterbatasan anggaran.
Pemasangan tower, kabel, dan pemeliharaan di wilayah yang tidak padat penduduk dianggap tidak ekonomis. Hal ini menyebabkan operator lebih fokus pada daerah urban yang lebih menguntungkan secara bisnis.
Ketimpangan Pengetahuan dan Perangkat
Masalah lain yang cukup besar adalah tidak meratanya kepemilikan perangkat digital. Sebanyak 43,6% warga yang belum terkoneksi mengaku tidak memiliki perangkat seperti smartphone atau laptop. Sementara itu, 40,8% menyatakan tidak tahu cara mengoperasikan perangkat internet.
Ini menandakan masih rendahnya literasi digital di sebagian besar masyarakat. Tanpa pemahaman dasar, akses internet yang tersedia pun tidak akan bisa dimanfaatkan optimal. Program edukasi digital harus menjadi bagian dari strategi nasional.
Biaya Kuota dan Kurangnya Kesadaran Manfaat
Meskipun harga kuota internet di Indonesia relatif murah dibanding negara lain, 38,75% pengguna, terutama dari generasi muda, menyebut bahwa harga masih terasa mahal. Di sisi lain, sekitar 3,24% masyarakat merasa tidak butuh internet karena belum melihat manfaatnya.
Ini menunjukkan bahwa permasalahan akses bukan hanya soal teknis, tetapi juga kesadaran. Kurangnya pemahaman terhadap potensi manfaat internet menyebabkan rendahnya permintaan di beberapa daerah.
Modal dan SDM Terbatas
Selain faktor eksternal, banyak penyedia layanan juga menghadapi tantangan internal. Sebanyak 3,67% responden menyebut kurangnya modal sebagai alasan lambatnya pengembangan jaringan. Sementara 3% lainnya menyebut minimnya tenaga kerja terampil di sektor ini.
Keterbatasan kapasitas penyedia layanan menjadi hambatan yang tak kalah penting untuk diselesaikan. Ini menuntut dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan investor swasta.
Ketimpangan Wilayah dan Tantangan Digitalisasi
Statistik per Wilayah
Pulau Jawa mencatat penetrasi internet tertinggi, mencapai lebih dari 85% dari total penduduk. Sementara itu, wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Maluku hanya mencatat angka penetrasi sekitar 69,26%.
Perbedaan mencolok ini mencerminkan ketimpangan pembangunan infrastruktur digital secara nasional. Pemerataan perlu menjadi agenda utama pembangunan teknologi informasi. Tanpa pendekatan berbasis wilayah, kesenjangan digital akan terus melebar.
Fokus Utama: Daerah 3T
Wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) menjadi titik fokus utama dalam pemerataan akses. Pemerintah perlu melakukan intervensi langsung dengan membangun jaringan dasar yang mampu dijangkau operator.
Skema kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta harus diperkuat. Pemberian insentif khusus bagi operator yang menjangkau wilayah 3T menjadi langkah realistis. Ini sekaligus mengurangi ketergantungan pada pembangunan berbasis APBN semata.
Rangkuman dan Rekomendasi Aksi
Rangkuman
Sebanyak 229 juta warga Indonesia telah menggunakan internet, namun masih ada 55 juta lainnya yang tertinggal. Tantangan utama mencakup infrastruktur tidak merata, biaya mahal, regulasi tidak sinkron, minimnya perangkat, dan rendahnya literasi digital.
Kondisi ini berisiko memperbesar jurang kesenjangan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, pemerataan digital menjadi kebutuhan mendesak.
Arah Solusi
Langkah strategis diperlukan untuk mengatasi hambatan digital ini. Pemerintah harus mempercepat pembangunan jaringan di wilayah 3T dengan pendekatan kolaboratif. Regulasi yang mendukung dan simplifikasi perizinan perlu dihadirkan.
Di sisi lain, penyedia layanan harus lebih aktif dalam edukasi pengguna dan distribusi perangkat terjangkau. Sinergi multisektor menjadi kunci mewujudkan pemerataan konektivitas di Indonesia.

