Latar Belakang Kebijakan Inggris dan Konteks Regional
Pada 29 Juli 2025, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengumumkan rencana pemerintahannya untuk mengakui Negara Palestina pada Sidang Umum PBB bulan September. Langkah ini akan diambil apabila Israel menunjukkan langkah konkret menuju perdamaian dan memperbaiki krisis kemanusiaan di Gaza.
Tiga syarat utama yang ditetapkan adalah persetujuan atas gencatan senjata, penegasan tidak adanya aneksasi wilayah Tepi Barat, serta komitmen Israel untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan dan membuka akses bantuan PBB secara penuh. Hamas pun diminta untuk membebaskan seluruh sandera, menerima gencatan senjata, menyerahkan senjata, serta melepas kendali politik atas Gaza.
Langkah ini dianggap sebagai manuver diplomatik strategis yang memanfaatkan momen dukungan internasional terhadap Palestina. Pengakuan ini juga merupakan sinyal politik yang kuat untuk menekan Israel agar mematuhi prinsip-prinsip perdamaian internasional.
Analisis Diplomatik: Apa Makna Langkah Inggris?
Dari Metodologi Diplomasi ke Taktik Tekanan
Perubahan sikap Inggris dari menunggu proses perdamaian ke penetapan jadwal pengakuan menunjukkan pendekatan diplomasi baru. Inggris kini memosisikan diri sebagai inisiator perdamaian, bukan sekadar pengamat.
Langkah ini juga memberi tekanan lebih besar terhadap Israel, terutama dalam konteks opini publik global dan diplomasi antarnegara. Inggris menjadi negara G7 pertama yang secara tegas menyatakan waktu pengakuan Palestina.
Dampak Global dan Eropa
Bergabungnya Inggris dalam barisan negara-negara yang siap mengakui Palestina dapat menjadi pemicu bagi negara lain di Eropa. Prancis sebelumnya telah menyampaikan niat serupa, dan beberapa negara Eropa lainnya sedang mempertimbangkan tindakan yang sama dalam waktu dekat.
Pengakuan ini juga membuka ruang legal bagi Palestina dalam forum internasional. Secara tidak langsung, hal ini memperkuat posisi mereka dalam berbagai institusi global.
Kontroversi di Dalam Negeri Inggris
Meskipun rencana ini mendapat dukungan dari lebih 250 anggota parlemen lintas partai, komunitas British-Palestinians menyebutnya sebagai tindakan simbolik semata. Mereka menganggap pengakuan itu tidak cukup berarti jika penderitaan di Gaza tetap berlanjut dan tidak ada perubahan nyata di lapangan.
Pemerintah pun menghadapi dilema moral dan politik dalam menyeimbangkan tekanan internasional dan kepentingan domestik yang semakin kritis terhadap isu kemanusiaan.
Respons Arab Saudi terhadap Pengumuman Inggris
Pernyataan Resmi dari Riyadh
Arab Saudi menyambut baik langkah Inggris dan menegaskan dukungannya terhadap pembentukan Negara Palestina. Dalam pernyataannya, Riyadh menyerukan pentingnya negara merdeka di perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Arab Saudi menilai pengakuan ini sebagai upaya konkret komunitas internasional yang sejalan dengan prinsip-prinsip perdamaian global. Hal ini juga mencerminkan komitmen Riyadh terhadap perdamaian jangka panjang di Timur Tengah.
Harmonisasi dengan Inisiatif Arab
Sebagai salah satu pengusung utama Inisiatif Perdamaian Arab, Arab Saudi secara konsisten menyerukan penarikan penuh Israel dari wilayah pendudukan. Negara ini juga menjadi tuan rumah berbagai konferensi yang mendorong solusi dua negara.
Dalam konferensi terbaru di New York, Arab Saudi kembali mengajak Hamas untuk berdamai dengan Otoritas Palestina serta mendukung transisi kekuasaan di Gaza yang stabil di bawah pengawasan internasional.
Dukungan Diplomatik Internasional
Dengan mendukung langkah Inggris, Arab Saudi memperkuat posisi diplomatiknya dalam negosiasi global. Dukungan Riyadh juga dapat menjadi faktor penting dalam mendorong normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab lainnya, dengan syarat solusi dua negara menjadi prioritas.
Implikasi dan Tantangan ke Depan
Potensi Perubahan Diplomatik
Jika Inggris benar-benar mengakui Palestina pada September 2025, pengaruhnya akan signifikan secara geopolitik. Palestina akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat, baik di forum internasional maupun dalam negosiasi perdamaian.
Pengakuan ini juga menandai pergeseran strategi dari negara-negara Barat yang sebelumnya pasif terhadap solusi dua negara.
Risiko Simbolik
Namun demikian, langkah ini juga dinilai berisiko jika tidak dibarengi dengan gencatan senjata dan reformasi nyata. Tindakan simbolik tanpa dukungan nyata di lapangan dapat menciptakan frustrasi baru bagi rakyat Palestina dan komunitas internasional.
Beberapa pihak menyebut langkah ini sebagai bentuk “gesture diplomatik” yang tidak otomatis menyelesaikan akar konflik.
Hubungan dengan Arab Saudi dan Normalisasi
Arab Saudi telah menegaskan tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel selama belum ada solusi konkret untuk Palestina. Dalam hal ini, Inggris dapat memperkuat posisi Arab Saudi di meja diplomasi, terutama dalam dialog trilateral dengan AS dan Israel.
Koordinasi antara Inggris, Prancis, dan Saudi dapat menjadi blok baru dalam mendorong perundingan damai yang adil dan berkelanjutan.

