Figur Reforma dan Kepatuhan Hukum
Universitas Columbia baru‑baru ini menyetujui pembayaran sebesar USD 220 juta (sekitar Rp 3,6 triliun) kepada pemerintah Amerika Serikat sebagai bagian dari penyelesaian sengketa federal terkait tudingan kegagalan kampus menekan antisemitisme selama gelombang protes pro‑Palestina sejak 2023.
Dari total tersebut, USD 200 juta dialokasikan untuk menggantikan dana hibah federal yang sempat dibekukan, dan USD 21 juta sisanya digunakan untuk penyelesaian investigasi dari Komisi Kesempatan Kerja Setara (EEOC) atas dugaan pelanggaran kebijakan nondiskriminasi.
Kesepakatan resmi dicapai pada 23 Juli 2025 dan dirancang untuk berjalan selama tiga tahun, sekaligus memulihkan sebagian besar aliran dana riset yang sempat dihentikan oleh administrasi sebelumnya.
Reformasi Institusional yang Diterapkan
Kebijakan Internal dan Disiplin
Sebagai bagian inti kesepakatan, Columbia diwajibkan melakukan perubahan signifikan pada kebijakan kampus. Beberapa langkah kunci mencakup mengadopsi definisi antisemitisme menurut International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA), termasuk pelatihan intensif untuk civitas akademika.
Universitas juga harus mengubah prosedur disiplin bagi mahasiswa, menambah petugas pengawas demonstrasi, serta merevisi aturan larangan penggunaan masker, kewajiban membawa kartu identitas, dan sanksi administratif seperti skorsing atau pemecatan.
Penataan Kurikulum dan Keberagaman
Columbia diminta untuk merestrukturisasi Departemen Studi Timur Tengah, membentuk institut baru khusus studi Yahudi dan Israel, serta menghapus program yang menetapkan kuota berdasarkan ras atau target keberagaman yang dianggap bertentangan dengan kebijakan federal.
Supervisi Eksternal
Universitas juga diwajibkan mengirimkan laporan rutin kepada pengawas independen eksternal guna memastikan kepatuhan terhadap seluruh persyaratan perjanjian, termasuk pencegahan penyalahgunaan program keberagaman berbasis rasial.
Latar Belakang Protes dan Tekanan Politik
Gelombang protes pro‑Palestina yang terjadi sejak musim semi 2024 memicu kekhawatiran intens tentang keamanan komunitas Yahudi di kampus, dengan laporan pelecehan verbal dan isolasi sosial yang meluas.
Pemerintahan Presiden Donald Trump menanggapi dengan membekukan dana federal melebihi USD 400 juta kepada Columbia pada Maret 2025, menuduh universitas gagal menciptakan lingkungan aman bagi mahasiswa Yahudi dan membiarkan antisemitisme berkembang.
Presiden sementara Columbia, Claire Shipman, menyatakan bahwa kesepakatan ini merupakan langkah penting untuk menyelesaikan ketidakpastian hukum dan menjaga reputasi riset akademik institusi.
Dampak Terhadap Kampus Elit AS Lainnya
Columbia bukan satu‑satunya lembaga yang menghadapi tekanan pemerintah federal. Universitas Harvard, Brown, Cornell, Northwestern, Princeton, dan lainnya juga masuk dalam agenda pengawasan ketat atas kebijakan DEI (Diversity, Equity, Inclusion) serta potensi pembekuan dana federal.
Harvard menggugat pemerintah atas ancaman kehilangan dana sebesar USD 2,6 miliar, sementara Brown menghadapi risiko kehilangan sekitar USD 510 juta. Secara keseluruhan, lebih dari 4.000 hibah senilai sekitar USD 8 miliar dari sekitar 600 kampus tengah diperiksa ulang oleh otoritas federal.
Menteri Pendidikan AS menyebut kesepakatan Columbia sebagai contoh bahwa pemerintah mampu menegakkan standar nondiskriminasi sebagai syarat pendanaan. Dalam pidatonya di media sosial, Trump memuji Columbia sebagai preseden institusional bahwa kampus harus tunduk pada hukum federal.
Evaluasi Dampak Jangka Panjang
Kepatuhan vs Kebebasan Akademik
Kesepakatan ini mencerminkan tantangan besar dalam dunia pendidikan tinggi: bagaimana menyeimbangkan kepatuhan hukum federal dengan perlindungan terhadap kebebasan akademik. Reformasi yang diminta pemerintah menyentuh ranah sensitif seperti demonstrasi mahasiswa dan otonomi fakultas.
Reputasi dan Pendanaan
Dalam jangka panjang, Columbia berhasil memulihkan akses terhadap dana riset, namun reputasinya tetap berada di bawah tekanan antara tuntutan politik dan kebutuhan komunitas akademik internal. Pengawasan ketat berpotensi menjadi beban administratif yang kompleks.

