Sebagai mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) yang menjadi arsitek digitalisasi pendidikan, pemeriksaan Nadiem Makarim oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pada 23 Juni 2025 merupakan momen penting dalam penegakan hukum atas dugaan korupsi pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun. Artikel ini membahas secara teknis dan kebijakan dari perspektif seorang pakar pengadaan dan tata kelola pendidikan digital.
Latar Belakang Kasus Chromebook
Pada Mei 2025, Kejagung menetapkan kasus pengadaan Chromebook dalam Program Digitalisasi Sekolah sebagai perkara penyidikan. Proyek ini berlangsung pada periode 2019–2022.
Melibatkan anggaran hampir Rp10 triliun yang terdiri dari Rp3,58 triliun dari dana satuan pendidikan dan Rp6,39 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Salah satu aspek yang disorot adalah pemilihan perangkat Chromebook dengan sistem operasi Chrome OS, yang pada awalnya diuji oleh Pustekkom dan dinilai kurang cocok dibandingkan Windows.
Namun, kajian tersebut kemudian berubah arah dan keputusan akhir tetap mengadopsi Chromebook dalam skala besar.
Fakta Pemeriksaan 23 Juni 2025
Kedatangan Nadiem ke Gedung Bundar
Nadiem Makarim tiba di Gedung Bundar Jampidsus Kejagung pada pukul 09.10 WIB, didampingi pengacara ternama Hotman Paris Hutapea. Ia mengenakan batik krem dan membawa tas hitam, namun tidak memberikan pernyataan kepada media.
Agenda Pemeriksaan
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa Nadiem diperiksa sebagai saksi untuk mengklarifikasi proses pengambilan keputusan terkait pengadaan, termasuk bagaimana pengawasan terhadap staf khusus dilakukan, serta dasar teknis dalam memilih vendor dan platform sistem operasi.
Pertanyaan Kritis dari Perspektif Pakar
Validitas Kajian Teknis
Dari sudut pandang seorang pakar pengadaan publik dan teknologi pendidikan, perubahan preferensi dari Windows ke Chrome OS harus diperiksa ulang. Keputusan yang tidak berdasarkan analisis kebutuhan lapangan yang objektif, dan justru bertentangan dengan hasil uji awal, patut dicurigai.
Jika memang terdapat bukti bahwa kajian awal menyebut Chromebook tidak efektif, maka perubahan kebijakan harus disertai dokumen resmi pembanding, bukan hanya keputusan sepihak dari tim teknis atau staf menteri.
Peran Staf Khusus
Kejagung sebelumnya telah memeriksa sejumlah staf khusus Mendikbudristek, termasuk Fiona Handayani, Jurist Tan, dan Ibrahim Arief.
Indikasi bahwa mereka terlibat dalam pembentukan keputusan pengadaan menyoroti pentingnya transparansi dalam tugas staf ahli menteri, yang seharusnya bersifat strategis, bukan teknis operasional.
Aspek Ekonomi dan Efisiensi
Nadiem pernah menyampaikan bahwa Chromebook 10–30% lebih murah dan Chrome OS tidak memerlukan lisensi tambahan.
Namun, penilaian efisiensi harus mencakup biaya total kepemilikan, termasuk infrastruktur jaringan, pelatihan guru, sistem pemeliharaan, dan keberlanjutan dukungan teknis di daerah.
Tanpa perhitungan menyeluruh, argumentasi efisiensi harga bisa menyesatkan dan membuka ruang pemborosan APBN.
Implikasi Bagi Tata Kelola dan Pendidikan Digital
Meningkatkan Governance Pengadaan
Kasus ini menjadi cermin penting bagi kementerian dan lembaga dalam menerapkan prinsip good governance.
Transparansi dalam proses pemilihan vendor, kejelasan alasan teknis, serta akuntabilitas menteri dalam pengawasan merupakan unsur krusial agar proyek digitalisasi tak menjadi ladang penyimpangan anggaran.
Evaluasi Ulang Proyek Digitalisasi
Proyek sebesar ini semestinya dilakukan bertahap dengan pengujian mendalam di berbagai daerah, bukan hanya uji coba terbatas di pusat. Pemerintah harus menyiapkan kebijakan berbasis data, bukan semata mengikuti tren atau kepentingan pihak tertentu.
Keterlibatan Nadiem sebagai figur utama transformasi pendidikan digital menandakan pentingnya pertanggungjawaban pada level politik dan administratif tertinggi.

