Investigasi Nasional Bongkar Beras Tak Layak Edar
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membeberkan temuan mengejutkan: 212 merek beras dari 10 provinsi dinyatakan bermasalah.
Investigasi bersama Kementan, Satgas Pangan Polri, dan Kejaksaan Agung mengungkap pelanggaran mutu, berat tidak sesuai label, hingga harga jual di atas HET (Harga Eceran Tertinggi). Data lengkap kasus telah diserahkan ke Kapolri dan Jaksa Agung sebagai bentuk tindak lanjut hukum.
268 Sampel Diuji, Mayoritas Tak Sesuai Standar
Sebanyak 268 sampel beras diuji di 13 laboratorium independen. Hasilnya mengkhawatirkan: 85,56% beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78% dijual melebihi HET, dan 21% beratnya kurang dari label kemasan.
Untuk beras medium, 88,24% tidak sesuai SNI, dan 95,12% dijual di atas HET. Data ini menunjukkan adanya praktik curang yang merugikan konsumen secara sistematis.
Satgas Pangan Ultimatum Dengan Tenggat Dua Pekan
Satgas Pangan Polri memberi batas waktu hingga 10 Juli kepada pelaku untuk memperbaiki produk mereka.
Brigjen Pol. Helfi Assegaf menegaskan, bila tidak ada perbaikan, pelaku akan diproses secara pidana sesuai UU Perlindungan Konsumen, dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp2 miliar. Ini peringatan tegas bagi pelaku usaha agar berhenti bermain-main dengan produk kebutuhan pokok.
Modus Jahat: Beras Subsidi Didaur Ulang Jadi Premium
Yang paling mencengangkan adalah modus pemalsuan beras subsidi SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan). Beras subsidi milik Bulog dikemas ulang, diberi label premium, lalu dijual dengan harga tinggi.
Praktik ini tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga negara. Potensi kerugian akibat modus ini ditaksir mencapai Rp99 triliun. Ini bukan sekadar pelanggaran bisnis biasa, tapi kejahatan ekonomi besar-besaran.
Publik Respon Positif, Harapan akan Ketegasan
Langkah Kementan dan Satgas Pangan ini menuai dukungan dari masyarakat. Seorang ibu rumah tangga di Surabaya mengaku kecewa karena beras premium yang dibeli ternyata kualitasnya buruk.
Sementara itu, petani dari Jawa Tengah merasa dihargai karena pemerintah menunjukkan keberpihakan terhadap keadilan. Mereka berharap sistem distribusi pangan menjadi lebih bersih dan transparan ke depan.
Dorongan Perubahan Sistemik di Industri Beras
Amran menyebut bahwa kasus ini harus menjadi titik balik untuk perbaikan sistemik. Mulai dari regulasi label, transparansi distribusi, hingga pengawasan kualitas di tingkat produsen.
Ia juga mengajak masyarakat untuk lebih kritis dan tidak mudah tergiur label “premium” tanpa jaminan kualitas. Pemerintah juga akan rutin melakukan pengujian laboratorium dan pemantauan pasar demi melindungi konsumen.
Mendesak Regulasi Baru dan Peran Daerah
Kasus ini juga jadi sinyal keras bagi pemerintah daerah untuk ikut turun tangan. Pengawasan distribusi pangan tak bisa hanya mengandalkan pusat. Kepala daerah diminta memperketat pengawasan gudang, distribusi, dan pelabelan produk beras.
Kementan pun sedang menyiapkan regulasi baru yang mewajibkan pencantuman kode produksi dan sertifikasi mutu pada setiap kemasan, agar pelacakan lebih mudah dan cepat.
Perbaikan Rantai Pasok dan Transparansi Digital
Sebagai solusi jangka panjang, Kementan menggandeng Badan Pangan Nasional dan Kemenkominfo untuk mempercepat digitalisasi rantai pasok pangan.
Dalam waktu dekat, konsumen akan dapat memindai QR code pada kemasan beras untuk melihat asal usul, tanggal panen, dan hasil uji mutu. Teknologi ini diharapkan mencegah praktik nakal dan membangun ekosistem pangan yang adil dan terpercaya.
Saatnya Reformasi Pangan Dimulai
Kasus 212 merek beras ini menegaskan bahwa pengawasan pangan tak bisa lagi dilakukan setengah hati. Dengan data valid, hasil laboratorium, dan keterlibatan aparat, diharapkan pelaku usaha curang akan mendapat sanksi setimpal.
Kini giliran aparat hukum untuk bergerak cepat, dan masyarakat untuk lebih bijak dalam memilih produk pangan.

