Pergantian Pimpinan di Tengah Momentum Besar
Peluncuran iPhone 17 seharusnya menjadi momen penting bagi Apple. Namun, perhatian publik justru teralihkan oleh mundurnya salah satu eksekutif kunci yang berperan besar dalam strategi kecerdasan buatan perusahaan. Kepergian ini menimbulkan spekulasi mengenai konsistensi Apple dalam menjaga arah pengembangan teknologi yang kini menjadi pusat perhatian global.
Robby Walker, sosok yang lama memimpin pengembangan Siri dan AI di Apple, memutuskan hengkang setelah lebih dari sepuluh tahun. Walker dikenal memiliki kontribusi signifikan dalam memperkuat tim AI, terutama di sektor pencarian dan asisten virtual. Kepergiannya dipandang sebagai sinyal serius mengenai adanya tantangan internal yang belum teratasi.
Langkah tersebut juga dinilai sebagai pukulan telak mengingat Apple tengah berupaya meningkatkan daya saing di bidang AI. Pasalnya, saat perusahaan lain agresif mendorong inovasi, Apple masih bergulat dengan penundaan pembaruan besar yang dinantikan, terutama untuk Siri. Kondisi ini membuat investor dan konsumen mempertanyakan arah strategis Apple.
Dampak Kepergian Eksekutif pada Strategi AI
Walker selama ini melapor langsung kepada John Giannandrea, sosok penting yang memimpin strategi machine learning Apple. Ia terlibat dalam pengembangan pencarian internal dan upaya integrasi teknologi AI generatif yang menjadi tren global. Perannya dianggap vital dalam menyelaraskan riset AI dengan kebutuhan produk konsumen.
Namun, kepergiannya bukan peristiwa tunggal. Sebelumnya, beberapa tokoh AI lain dari Apple juga memilih pindah ke perusahaan pesaing. Perubahan ini memicu kekhawatiran bahwa Apple kehilangan momentum dalam membangun tim yang solid untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Situasi ini memberi peluang bagi kompetitor seperti Google, Microsoft, dan Meta untuk memperkuat dominasi mereka. Ketiganya telah bergerak cepat dengan memonetisasi teknologi AI dalam skala besar, sementara Apple terlihat lebih hati-hati. Dalam dunia teknologi yang bergerak cepat, langkah konservatif dapat berbalik menjadi kelemahan.
Kesenjangan Inovasi di Antara Big Tech
Banyak analis menilai Apple tertinggal dari para pesaing dalam perlombaan AI. Google dan Microsoft, misalnya, telah meluncurkan berbagai layanan berbasis AI yang langsung dapat dimanfaatkan konsumen maupun korporasi. Langkah ini menunjukkan bagaimana AI kini menjadi tulang punggung strategi bisnis jangka panjang.
Di sisi lain, Apple lebih fokus pada perangkat keras dan ekosistem yang stabil, namun kurang agresif dalam mengeksekusi peta jalan AI. Keterlambatan pembaruan Siri menjadi bukti nyata bagaimana rencana besar seringkali tersendat sebelum diluncurkan ke pasar. Padahal, asisten virtual adalah salah satu wajah utama AI bagi konsumen.
Analis Wedbush, Daniel Ives, bahkan menilai Apple seperti penonton yang hanya mengamati dari luar. Menurutnya, raksasa Cupertino itu seolah duduk santai menyaksikan revolusi AI tanpa langkah nyata. Padahal momentum ini disebut sebagai peluang teknologi terbesar dalam empat dekade terakhir.
Potensi Besar yang Belum Dimaksimalkan
Meski dikritik, Apple sebenarnya memiliki modal kuat yang belum sepenuhnya dioptimalkan. Basis pengguna perangkat iOS mencapai 2,4 miliar, dengan 1,5 miliar di antaranya adalah iPhone aktif di seluruh dunia. Angka ini memberi Apple posisi strategis untuk memperkenalkan fitur AI dengan dampak masif.
Dengan dukungan infrastruktur yang luas, Apple bisa memanfaatkan data pengguna secara lebih efisien untuk mengembangkan layanan cerdas. Namun, pendekatan hati-hati terkait privasi membuat inovasi sering tertahan. Hal ini menciptakan dilema antara menjaga reputasi keamanan dan mengikuti tren percepatan teknologi.
Jika perusahaan mampu menyeimbangkan keduanya, peluang menguasai pasar AI konsumen masih terbuka lebar. Tantangannya terletak pada eksekusi strategi dan keberanian mengambil langkah lebih cepat. Kepergian eksekutif penting seperti Walker menjadi sinyal bahwa perubahan mendasar mungkin perlu segera dilakukan.

