Latar Belakang Konflik
Perundingan tidak langsung antara Hamas dan Israel digelar pada awal Juli 2025 di Doha, Qatar. Media internasional melaporkan bahwa putaran perdana tersebut berakhir tanpa hasil yang konkret.
Salah satu hambatan utama adalah delegasi Israel yang dinilai tidak memiliki wewenang penuh untuk menyetujui kesepakatan strategis.
Hal ini mencerminkan tantangan internal yang serius di tubuh pemerintahan Israel. Menurut sumber diplomatik, kondisi ini berisiko menghambat proses negosiasi lanjutan.
Tokoh Kunci dan Agenda Utama
Sebelum berangkat ke Doha, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan bahwa delegasi Israel telah dibekali instruksi tegas. Namun kenyataannya, delegasi tersebut tidak dapat memberikan komitmen penuh atas usulan yang muncul.
Agenda utama perundingan mencakup penghentian tembakan selama 60 hari dan pertukaran sandera. Israel menuntut pembebasan puluhan sandera oleh Hamas, sementara Hamas menginginkan penarikan total pasukan Israel dari Jalur Gaza.
Isu bantuan kemanusiaan juga menjadi pembahasan, terutama terkait akses logistik melalui perbatasan Rafah.
Hambatan Delegasi Israel
Menurut dua sumber Palestina yang terlibat, delegasi Israel tidak dibekali mandat yang memadai. Kekurangan wewenang ini menjadi batu sandungan utama, menyebabkan stagnasi pada tahap awal perundingan.
Hamas menilai ini sebagai bentuk ketidaksiapan Israel untuk berkompromi secara politik. Akibatnya, komunikasi tidak langsung yang difasilitasi Qatar berjalan dalam ketegangan tinggi. Progres diplomasi pun gagal mencapai hasil yang bisa dijadikan dasar kesepakatan berikutnya.
Dinamika Diplomasi dan Pengaruh Internasional
Peran Amerika Serikat dan Trump
Presiden AS Donald Trump direncanakan akan bertemu Netanyahu dalam waktu dekat di Washington. Pertemuan ini disebut-sebut sebagai momentum penting untuk mendobrak kebuntuan yang terjadi di Doha. Trump optimis bahwa kesepakatan gencatan senjata bisa dicapai dalam waktu dekat.
AS bahkan siap memberi jaminan keamanan agar Israel tidak melanggar durasi gencatan yang telah disepakati. Hamas merespons positif, tetapi tetap menuntut jaminan bahwa kesepakatan akan bersifat permanen.
Tekanan Domestik di Israel
Gelombang protes kembali terjadi di Tel Aviv, menuntut pemerintah Israel untuk segera mengakhiri konflik. Massa berkumpul membawa foto sandera dan menyerukan penyelesaian damai. Tekanan publik ini mengancam stabilitas internal pemerintahan Netanyahu.
Di sisi lain, koalisi sayap kanan menolak kompromi dan mendesak kelanjutan serangan militer terhadap Hamas. Pertarungan politik domestik ini memperlemah posisi negosiator Israel dalam perundingan.
Tantangan Kunci dalam Negosiasi
Masalah Utama yang Belum Terselesaikan
Beberapa poin kritis menjadi hambatan utama dalam negosiasi ini. Pertama, delegasi Israel tidak memiliki kuasa penuh untuk mengambil keputusan akhir. Kedua, Hamas menuntut jaminan bahwa pasukan Israel akan ditarik dari seluruh wilayah Gaza.
Ketiga, distribusi bantuan kemanusiaan belum memiliki skema operasional yang disepakati kedua belah pihak. Draf gencatan senjata yang difasilitasi AS - Qatar - Mesir mencakup penghentian tembakan 60 hari dan pembebasan sandera. Namun tanpa kesepakatan teknis, pelaksanaan tetap tidak memungkinkan.
Akibat Kegagalan Putaran Pertama
Putaran pertama di Doha gagal membuahkan hasil konkret bagi rakyat Palestina maupun Israel. Kegagalan ini meningkatkan risiko kembalinya aksi kekerasan dalam waktu dekat. Jalur bantuan seperti Rafah tetap tidak terbuka secara penuh, menambah penderitaan warga sipil Gaza.
Delegasi dari kedua pihak dijadwalkan kembali melakukan perundingan setelah pertemuan Netanyahu dan Trump. Namun jika mandat tidak diperkuat, proses diplomasi kemungkinan kembali gagal.

