Pemprov DKI Menimbang Kenaikan Tarif di Tengah Tekanan Fiskal
Kebijakan fiskal kembali menjadi sorotan di Jakarta setelah pemerintah pusat memangkas Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima oleh Pemprov DKI. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengungkapkan bahwa langkah penyesuaian tarif Transjakarta masih dalam tahap kajian menyeluruh.
Menurutnya, keputusan tersebut tidak bisa diambil secara terburu-buru karena harus mempertimbangkan daya beli masyarakat dan keseimbangan keuangan daerah. Dalam konteks kebijakan publik, evaluasi tarif transportasi tidak hanya berorientasi pada angka, melainkan pada keberlanjutan layanan dan prinsip keadilan sosial.
Pramono menyebut, jika nantinya diperlukan penyesuaian, kebijakan itu akan diumumkan secara transparan dan bertahap. Langkah ini penting agar publik memahami alasan di balik kebijakan tersebut serta dampaknya terhadap kesejahteraan warga kota.
Sebagai kota metropolitan dengan populasi padat, Jakarta menghadapi dilema klasik antara menjaga keterjangkauan dan memastikan keberlanjutan layanan. Menahan tarif terlalu lama bisa membebani kas daerah, namun menaikkannya tanpa kajian sosial-ekonomi berpotensi menekan kelompok berpenghasilan rendah.
Perbandingan Tarif: Jakarta Masih Jadi Kota dengan Ongkos Murah
Dalam konteks regional, tarif transportasi publik di Jakarta tergolong rendah dibandingkan kota-kota satelit seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang. Pramono menekankan bahwa sebagian besar layanan publik di ibu kota masih disubsidi cukup besar agar tetap terjangkau bagi semua kalangan.
Pendekatan ini mencerminkan filosofi bahwa transportasi publik adalah hak sosial, bukan semata komoditas ekonomi. Meski demikian, ketergantungan terhadap subsidi yang tinggi menimbulkan tantangan tersendiri bagi keberlanjutan sistem transportasi.
Ketika pendapatan daerah menurun akibat pemotongan DBH, beban pembiayaan subsidi otomatis meningkat. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memaksa pemerintah melakukan rasionalisasi atau meninjau ulang struktur biaya operasional.
Penyesuaian tarif, bila dilakukan, bukan berarti menarik subsidi secara penuh, melainkan mencari titik keseimbangan antara kemampuan fiskal dan keadilan pengguna. Artinya, setiap kebijakan harus dilandasi data empiris mengenai kemampuan membayar (ability to pay) serta kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat pengguna transportasi.
MRT dan LRT Masih Aman dari Kenaikan Tarif
Berbeda dengan Transjakarta, tarif MRT Jakarta dan LRT Jabodebek dipastikan tetap stabil untuk sementara waktu. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, menjelaskan bahwa hasil kajian subsidi menunjukkan tarif yang berlaku saat ini masih sesuai dengan kemampuan pengguna.
Berdasarkan analisis, tarif ekonomi MRT seharusnya berada di kisaran Rp13.000 per perjalanan, sementara tarif aktual hanya Rp7.000. Dengan demikian, setiap pengguna MRT masih menerima subsidi sekitar Rp6.000 per perjalanan.
Angka ini menunjukkan komitmen pemerintah menjaga keseimbangan antara efisiensi finansial dan inklusivitas sosial. Masyarakat menengah ke bawah tetap dapat menikmati moda transportasi modern tanpa harus terbebani secara finansial.
Namun, di sisi lain, keberlanjutan subsidi semacam ini harus dievaluasi secara periodik. Bila beban fiskal terus meningkat tanpa ada perbaikan dari sisi pendapatan, maka pemerintah akan dihadapkan pada keputusan sulit di masa depan. Perencanaan transportasi jangka panjang memerlukan kombinasi antara efisiensi operasional dan strategi pembiayaan kreatif.
Transjakarta dan Isu Tarif yang Tak Pernah Bergerak Sejak 2005
Transjakarta menjadi sorotan utama dalam wacana kenaikan tarif karena sudah hampir dua dekade tidak mengalami penyesuaian harga. Sejak pertama kali diterapkan tahun 2005, tarif Rp3.500 masih berlaku hingga kini. Padahal, jika disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan upah minimum provinsi (UMP), nilai tersebut sudah jauh tertinggal.
Syafrin Liputo menegaskan, ketika UMP tahun 2005 dikonversi ke nilai sekarang, terjadi peningkatan sekitar enam kali lipat. Artinya, daya beli masyarakat dan biaya operasional bus sudah berubah signifikan. Ketidakseimbangan ini membuat model pembiayaan Transjakarta semakin berat ditanggung oleh subsidi.
Oleh karena itu, kajian penyesuaian tarif perlu dilakukan dengan pendekatan multidimensi, bukan hanya ekonomi. Pemerintah harus memastikan bahwa kenaikan tarif jika dilakukan tidak menurunkan minat masyarakat menggunakan transportasi umum. Tujuan akhirnya adalah menjaga keseimbangan antara efisiensi fiskal dan mobilitas publik yang berkeadilan.