Penundaan Strategis Jepang
Jepang memilih menunda langkah pengakuan terhadap Palestina meski sebelumnya mendukung kuat kemerdekaan Palestina. Keputusan ini tampaknya dipengaruhi oleh prioritas diplomatik Tokyo, terutama hubungan aliansi jangka panjang dengan Amerika Serikat. Pada saat bersamaan, Jepang berusaha menghindari friksi langsung dengan Israel di tengah meningkatnya konflik.
Laporan media lokal menyebutkan keputusan ini lahir dari pertimbangan internal pemerintah Jepang. Sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengonfirmasi adanya sikap hati-hati daripada mengikuti langkah sejumlah sekutu Barat. Hal ini menunjukkan adanya kalkulasi diplomatik antara prinsip dan realitas geopolitik.
Meski Jepang secara terbuka menegaskan pentingnya solusi dua negara, penundaannya mencerminkan posisi diplomasi yang terukur. Dengan menahan pengakuan, Tokyo memberi sinyal menjaga hubungan internasional tanpa meninggalkan komitmen kebijakan jangka panjang.
Tekanan Internasional terhadap Tokyo
Sejumlah negara, termasuk Inggris, Prancis, Kanada, dan Australia, menyatakan akan mengakui Palestina di Majelis Umum PBB bulan ini. Langkah terkoordinasi itu ditujukan untuk meningkatkan tekanan global terhadap Israel di tengah memburuknya situasi kemanusiaan. Namun, Jepang tetap bersikap hati-hati.
Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat menjadi faktor utama di balik sikap Tokyo. Washington disebut telah melakukan berbagai upaya diplomatik untuk menahan Jepang melangkah lebih jauh. Hal ini menunjukkan bagaimana pengaruh AS masih sangat menentukan arah kebijakan luar negeri Jepang.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot secara terbuka mendesak Jepang agar segera mengakui Palestina. Pernyataannya menyoroti adanya perbedaan sikap antara sekutu Eropa yang semakin mendesak dan Jepang yang masih menahan diri. Perbedaan ini menegaskan posisi unik Jepang dalam komunitas internasional.
Pesan Domestik dan Kepedulian Kemanusiaan
Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi menekankan keprihatinan mendalam Tokyo terhadap operasi darat Israel di Gaza. Ia memperingatkan tindakan tersebut berpotensi meruntuhkan fondasi solusi dua negara, yang selama ini didukung Jepang sebagai jalan menuju perdamaian berkelanjutan. Pernyataan itu mencerminkan kesadaran atas risiko kemanusiaan.
Hayashi juga mendesak Israel untuk segera mengambil langkah nyata meredakan krisis kemanusiaan di Gaza. Masalah kelaparan dan penderitaan sipil yang semakin parah menjadi sorotan utama. Hal ini memperlihatkan upaya Jepang menyeimbangkan sikap hati-hati dengan suara moral terkait kemanusiaan.
Selain itu, Jepang turut mendukung resolusi PBB yang menekankan urgensi langkah konkret dengan batas waktu menuju solusi dua negara. Melalui dukungan ini, Tokyo menegaskan keselarasan dengan norma internasional meski menunda pengakuan formal terhadap Palestina.
Sinyal Diplomatik Menjelang Pertemuan PBB
Meski diskusi terus bergulir, Perdana Menteri Shigeru Ishiba diperkirakan tidak hadir dalam sidang khusus mengenai Palestina di New York pada 22 September 2025. Ketidakhadirannya menandakan Jepang memilih tidak tampil menonjol dalam konfrontasi diplomatik tersebut. Sikap ini mencerminkan preferensi keterlibatan tidak langsung.
Pengamat menilai keputusan ini sejalan dengan strategi diplomasi hati-hati Jepang. Dengan meminimalkan keterlibatan terbuka, Tokyo mengurangi risiko terjebak dalam perdebatan yang terpolarisasi sembari menjaga fleksibilitas untuk kebijakan mendatang. Pendekatan ini memungkinkan Jepang mempertahankan ruang gerak.
Namun, posisi Jepang saat ini bukanlah keputusan final. Pemerintah tetap membuka kemungkinan pengakuan di masa depan, bergantung pada dinamika regional dan konsensus internasional yang berkembang. Sikap kondisional ini mempertegas peran Jepang sebagai aktor pragmatis dalam menghadapi realitas geopolitik yang kompleks.